Wednesday, May 20, 2015

Xiaomi Ogah Bangun Pabrik di Indonesia

Alasan Xiaomi Ogah Bangun Pabrik di Indonesia

Rabu 20 Mei 2015 10:41 WIB

Vice President Global Xioami, Hugo Barra

Perusahaan telefon seluler asal China, Xiaomi, menyatakan untuk saat ini belum menyiapkan rencana membangun pabrik di Indonesia, sebagai upaya untuk mengantisipasi dorongan pemerintah terkait pengaturan kandungan lokal perangkat genggam 4G. Hal tersebut disampaikan oleh Vice President of Internasional, Hugo Barra, disela acara peluncuran smartphone terbaru, Mi 4i.

Hugo Barra mengakui, saat ini Xiaomi memang belum memiliki strategi untuk mendirikan pabrik smartphone di Indonesia. Tetapi dirinya mengetahui tentang aturan soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tersebut dan menyatakan siap mematuhinya.

“Kami tahu soal regulasi tersebut di negara ini dan kami sebisa mungkin akan mengikutinya. Namun bicara soal membangun pabrikan manufaktur di Indonesia itu rasanya terlalu dini untuk saat ini,” ucap Hugo Barra di Lounge Plaza Senayan, Jakarta, (19/5/2015).

Disampaikan dalam kesempatan berbeda oleh General Manager Xiaomi Southeast Asia, Steve Vickers . Dirinya mengatakan akan mempertimbangkan peraturan pemerintah Indonesia untuk memasukan unsur kandungan lokal dalam negeri pada smartphone.

Steve menyatakan jika aturan persentase mengenai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) telah rampung, Xiaomi kemungkinan akan merakit smartphone di Indonesia dengan menggandeng rekanan lokal (partner lokal), bukan membangun pabrik.

Steve berharap akan dapat merealisasikan niat tersebut pada 2015. Diakuinya Xiaomi ingin mendukung serta mendorong penetrasi 4G di Indonesia.

Ketika disinggung mengenai perusahaan Electronic Manufacturing Services (EMS) mana yang akan digandeng oleh Xiaomi untuk merakit ponselnya, Steve menjawab belum menentukan pabrikan mana yang akan diajak kerjasama. Seperti diketahui di Indonesia ada dua perusahaan yang bergerak di bidang tersebut yakni PT Tirdharma Persada (TDK) dan Satnusa Persada.


Aturan TKDN

Kebijakan penggunaan material lokal yang akan dilakukan pemerintah mengenai perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dikabarkan telah rampung. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, mengungkapkan bahwa perturan tersebut sudah ditandatanganinya.

“Kita akan uji publik mengenai TKDN ini. Saat ini, komposisi TKDN dalam satu produk yang sudah berjalan adalah 30:20 persen, 30 untuk network dan 20 persen untuk sub scriber station. Perhitungan untuk peraturan baru di awal 2017, akan menjadi 40:30, 40 untuk network dan 30 persen untuk sub scriber station,” jelas Rudiantara, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dirinya juga menuturkan bahwa peraturan baru ini tidak akan memberatkan produsen lokal maupun global, peraturan akan diikuti oleh semua produsen di industri telekomunikasi dalam produk besutannya yang akan dijual di dalam negeri.

Kebijakan mengenai TKDN untuk ponsel basis 4G diklaimnya akan dimulai pada bulan Janurari 2017 mendatang. Sedang perhitungannya diperkirakan sudah tepat, karena telah juga disepakati oleh tiga kementerian yang di Indonesia.


Sumber :

https://techno.okezone.com/read/2015/05/20/207/1152392/alasan-xiaomi-ogah-bangun-pabrik-di-indonesia

Tuesday, May 5, 2015

Rumah Liar (Ruli)


Ruli, Gusur Satu Tumbuh Seribu

Di sebuah warung di Kampung Nanas, Batam Kota, pembicaraan tentang rumah liar itu mengalun pelan. Yanti, pemilik warung, sudah bermukim di kampung itu sejak tahun 2004.

Kampung Nanas adalah salah satu permukiman liar yang cukup padat di Kota Batam. Di sana, keluarga kecil Yanti menempati sebuah petak milik kawan suaminya.

Pada 2008, Yanti dan suami sempat meninggalkan Kampung Nanas dan pulang kampung ke Padang. Mereka kembali lagi 1,5 tahun kemudian.

”(Saat balik ke Kampung Nanas) rumah itu sudah tidak ada. Kata orang-orang, kena badai,” ujar Yanti.

Yanti dan suaminya lantas datang ke seorang tua di sana. Namanya Pak Kopong. Mereka meminta sebuah lahan untuk bermukim. Pak Kopong menunjuk tanah yang hingga kini ia tempati bersama suami dan tiga anaknya itu.

Waktu itu, Yanti hanya membayar Rp 200 ribu. Itu upah tebas saja. Bangunan rumah tidak termasuk di dalamnya. Rumahnya menempati sebuah lahan kecil seluas seperempat lapangan bulu tangkis.

Ia membagi-baginya hingga menjadi empat ruangan.

Satu ruangan difungsikan sebagai warung. Satu ruangan untuk kamar tidur anak. Satu ruangan untuk kamar tidurnya dan suami. Satu lagi untuk dapur.

Dindingnya triplek saja. Atapnya seng. Kalau cuaca panas, gerahnya bukan main. Kalau hujan, air menetes di sana-sini.

”Seng sekarang kualitasnya nggak bagus. Harganya mahal, dipakai satu bulan sudah bocor,” katanya.

Meski begitu, ia bersyukur masih punya tempat tinggal. Ia tidak mungkin merepotkan kerabat-kerabatnya. Katanya, tidak banyak kerabatnya yang tahu ia tinggal di rumah liar.

Kalau tahu, kerabatnya pasti datang untuk mengentaskannya. Tapi, ”Tak enak. Sudah berkeluarga masa masih merepotkan saudara-saudara,” katanya.

Yanti tahu, tanah yang ia tinggali itu tanah ilegal. Suatu saat ia harus meninggalkannya dan pindah ke tempat lain. Se-Kampung Nanas juga sudah mengetahui kondisi itu.

Sudah ada persiapan?

Perempuan 32 tahun itu menggeleng sambil tertawa. Pendapatannya tak cukup untuk membeli kavling, seperti yang dilakukan para tetangganya. Ia lebih baik menggunakan uangnya untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Ia memiliki tiga anak. Anak pertama kelas V SD. Anak kedua sekolah di PAUD. Dan yang terakhir baru lima bulan.

”Tahun ini, yang kedua mau masuk SD. Besoknya, yang pertama masuk SMP,” katanya.

Yanti sangat berharap pada lahan ganti-rugi. Setidaknya, sepetak kavling dan uang paku. Supaya ia bisa membangun rumah lagi di kavling yang baru nanti.

Sebagian besar tetangga di sana telah memiliki kavling. Dulu sempat ada orang yang datang dan menjajakan kavling-kavling di daerah Tiban. Mereka menjualnya dengan harga Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per petak.

Yanti tak mungkin membelinya. Sementara Desi, istri Ketua RT 02 RW 09 di sana, sebenarnya bisa membelinya. Tapi ia urung membeli. ”Tak terpikir harganya akan semahal sekarang,” katanya.

Sekarang, harga kavling di wilayah Bengkong sudah sampai angka Rp 30 juta. Yang paling murah ada di wilayah Punggur. Harganya masih belasan juta rupiah. Paling mahal Rp 15 juta.

Sudah terlambat untuk membeli kavling. Desi dan suaminya, Syukur, hanya menunggu penggusuran saja. Supaya mendapat ganti kaveling.

Syukur tak sanggup jika harus membeli kavling itu. Ia masih harus membiayai dua anak yang hidup terpisah dengannya. Satu di Padang, satu di Tanjungpinang.

Sementara ia dan istrinya tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia tenaga lepas untuk proyek-proyek pembangunan gedung dan perumahan. Dan istrinya bekerja sebagai guru di PAUD Negeri di kawasan itu. ”Ia jadi guru karena ia istri RT. Tapi ya itu, gajinya tidak terlalu besar,” kata Syukur.

Pria yang sudah tujuh tahun menjabat sebagai Ketua RT itu yakin, penggusuran itu pasti akan berbalas lahan pengganti. Karena begitulah yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Dulu, ketika sebagian lahan Kampung Nanas digusur, para penduduknya mendapat lahan pengganti di daerah Tiban. Namun, tersisa 28 rumah yang belum diganti rugi.

Proses ganti rugi 28 rumah itu agak sulit. Proses negosiasi ganti rugi tak kunjung membuahkan kata sepakat. Terakhir, pihak perusahaan meminta salinan KTP dari kepala keluarga ke-28 rumah itu.

”Kami tidak kasih. Nanti dikiranya kami sudah setuju. Padahal kan belum,” katanya.

Sementara Desi – istrinya, percaya, tidak akan ada penggusuran lahan dalam beberapa pekan ini. Bahkan sampai akhir tahun nanti. Ini tahun politik. Siapa yang mau kehilangan banyak suara di sini.

”Kami semua punya KTP. Kami ini pemilih aktif,” ujar perempuan itu sambil mengangkat lagi teleponnya.

Sadar tinggal di lahan ilegal dan suatu saat pasti akan digusur juga diungkapkan warga permukiman liar Baloi Kebun. Abas, tokoh masyarakat di Baloi Kebun, selalu menggaungkan pemahaman itu kepada seluruh penghuni rumah liar. Terlebih bagi para calon penghuni.

”Makanya, kami membuat kesepakatan permintaan kami ini apa saja. Supaya ketika digusur nanti, kompak,” katanya, Kamis (9/4).

Yang mereka yakini, penggusuran pasti akan diiringi dengan pemberian ganti rugi. Seluruh penghuni rumah liar Baloi Kebun sepakat tidak ingin rumahnya diganti dengan uang. Melainkan lahan.

Sebab, uang bisa habis dalam hitungan detik.

”Kalau dikasih Rp 10 juta, dibawa ke mal, langsung habis,” kata Sri, warga Ruli Baloi Kebun.

Abas, pria yang sudah mendiami wilayah tersebut sejak tahun 1983, bahkan merasa perlu ada penggantian biaya material bangunan. Pasalnya, harga material kini semakin tinggi.

”Kalau hanya diberi lahan saja, bagaimana membangunnya?” ujarnya.

Sudah lebih dari sepuluh pemodal yang datang ke rumah liar Baloi Kebun. Mencoba berbincang dengan warga. Namun, selalu mentok. Ganti rugi yang mereka tawarkan tak cocok.

Tanah Baloi Kebun itu termasuk luas. Wilayahnya dimulai dari samping Kantor Kelurahan Baloi hingga samping bangunan Imperium lama. Keuntungan wilayah itu adalah berada di tepi jalan raya.

Namun, ada satu kerugiannya. Kawasan itu berada tepat di bawah tower. Setidaknya, pemodal harus merelakan satu hektare tanah di bawah tower untuk tidak dibangun apa-apa.

”Pertimbangan mereka ada di situlah. Padahal, kalau saya diami sekarang juga tidak ada masalah apa-apa,” ujarnya.

Kendati masih berharap ganti rugi jika digusur, sesungguhnya, sebagian penghuni rumah liar sudah punya rmah pribadi di perumahan yang legal.

Abas, umpamanya, sudah memiliki sebuah rumah di satu perumahan di Batamkota. Rumah itu kini ia kontrakkan. Suatu saat digusur, ia akan langsung pergi ke rumah tersebut. Dan menetap di sana.

”Kalau setelah digusur baru membangun, keluarga mau tinggal di mana?” ujarnya.

Hal yang sama juga dilakukan Sri. Warga yang sudah menetap sejak tahun 2000 di Ruli Baloi Kebun itu sudah membangun rumah di wilayah kaveling Tiban. Rumah itu bahkan sudah sempat ia tempati selama dua tahun.

Namun, ia kembali lagi ke rumah liar. Alasannya, suasana di kavling berbeda dengan di rumah liar. Ia rindu suasana keakraban di rumah liar. ”Kalau di kaveling atau perumahan itu orangnya di rumah semua. Sendiri-sendiri semua,” katanya.

Rumah itu sudah ia bangun sejak adanya isu penggusuran. Namun, nyatanya, rumah liar Baloi Kebun itu tak jadi digusur.

Rumah itu akan ia tempati ketika ia benar-benar digusur. Namun, jika ia mendapatkan ganti rugi berupa lahan, ia akan membangun rumah lagi di atas lahan tersebut.

”Saya harap bisa sekampung lagi dengan orang-orang sini,” ujarnya.

Niko, warga rumah liar Baloi Kolam, juga sudah punya rumah pribadi di sebuah perumahan di Batuaji. Rumah itu kini ia kontrakkan. ”Lebih baik di sinilah. Kan tidak bayar. Rumah yang di Batuaji disewakan, tambah-tambah penghasilan,” katanya.

Niko mengatakan, dengan tinggal di rumah liar ia bisa mendapatkan penghasilan Rp 1 juta sebulan dari menyewakan rumahnya. Tinggal di rumah liar, menurutnya, tidak terlalu ribet.

”Di sini ada air dan listrik juga. Lagian masih lamalah penggusuran,” katanya.

Selain memiliki rumah di Batuaji, pria beranak lima ini juga memiliki dua kaveling di daerah Punggur. Kaveling ini sudah lama ia miliki. Ia dapat dari pemberian Badan Pengusahaan (BP) Batam.

”Kalau itu sudah lama. Itu investasi, biar saja di situ,” katanya.


Sumber :
http://batampos.co.id/05-05-2015/ruli-gusur-satu-tumbuh-seribu/
https://yermiariezky.com/2013/09/14/cerita-rumah-liar-batam-1-hidup-dalam-intaian-bencana-lingkungan/

Related Posts